DEFERRED PROSECUTION AGREEMENT (DPA)
SEBAGAI ALTERNATIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Oleh: Dr. Marsudin Nainggolan, S.H., M.H
(Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara)
Penulis, Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara
Di Tanjung Selor.

Pendahuluan
Sistem hukum pidana Indonesia masih mengedepankan pendekatan retributif, yakni penghukuman sebagai bentuk pembalasan terhadap tindak pidana. Namun pendekatan ini sering tidak efektif, khususnya dalam kasus korupsi dan kejahatan ekonomi. Proses peradilan yang panjang justru membuat kerugian negara semakin sulit dipulihkan ( Muladi 2002 :77).
Deferred Prosecution Agreement (DPA) hadir sebagai instrumen alternatif yang memberi ruang bagi negara untuk memulihkan kerugian tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi. Konsep ini berkembang di Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Eropa, dan kini menjadi bahan diskursus penting di Indonesia sejalan dengan arah pembangunan hukum dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025–2045, yang menekankan transformasi hukum yang responsif dan adaptif (UU No. 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025–2045).
Konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA)
DPA adalah suatu mekanisme dimana penuntut umum menunda penuntutan dengan syarat tertentu. Jika syarat dipenuhi, penuntutan dihentikan, tetapi bila dilanggar penuntutan dilanjutkan (Brandon L. Garrett 2014 : 56) .
Adapun syarat umum DPA:
- Pengakuan tanggung jawab terbatas (limited admission of wrongdoing).
- Pembayaran denda, kompensasi, atau pemulihan kerugian negara.
- Kerja sama dalam mengungkap jaringan kejahatan.
- Reformasi tata kelola internal (corporate compliance program).
Teori Hukum yang Mendasari DPA
- Teori Utilitarianisme Hukum (Jeremy Bentham)
DPA selaras dengan prinsip the greatest happiness for the greatest number. Penundaan penuntutan tidak hanya melindungi kepentingan negara, tetapi juga masyarakat luas yang bergantung pada korporasi ( Bentham 1879 : 17).
- Teori Restorative Justice
Orientasi utama DPA adalah pemulihan (restorasi), bukan sekadar penghukuman. Korporasi diberi kesempatan memperbaiki kesalahan dengan mengembalikan kerugian negara dan memperbaiki tata kelola ( Zer 2015 : 45).
- Teori Hukum Progresif ( Satjipto Rahardjo)
Hukum harus mengabdi pada manusia, bukan sebaliknya (Satjipto Rahardjo 2009 : 101). DPA adalah wujud hukum progresif karena lebih mengedepankan efektivitas dan keadilan substantif.
- Teori Efektivitas Hukum (Law in Action – Roscoe Pound)
Pound memandang hukum sebagai a tool of social engineering ( Roscoe Pound, 1922 : 87 ) DPA adalah rekayasa sosial untuk mengubah perilaku korporasi melalui kewajiban compliance serta mempercepat pemulihan aset negara.
- Teori Keadilan Korektif dan Distributif (Aristoteles)
DPA mencerminkan keadilan korektif (mengembalikan kerugian) dan keadilan distributif yakni melindungi masyarakat luas dari dampak negatif penghukuman korporasi (Aristoteles 2004 : 113 )
- Teori Ekonomi Hukum (Richard Posner)
DPA mencerminkan efisiensi hukum: lebih baik negara menerima kembali kerugian dengan cepat daripada membuang biaya dan waktu dalam litigasi panjang (Posner, 2014 : 25).
- Teori Integritas Hukum (Ronald Dworkin)
DPA harus transparan, akuntabel, dan diawasi pengadilan agar tidak dipersepsikan sebagai kompromi yang melanggar prinsip keadilan ( Ronald Dworkin 1986 : 176) .
Urgensi DPA di Indonesia
- Efektivitas pemulihan kerugian negara: Perkara korupsi yang panjang sering membuat aset hilang nilainya ( Transparency International, 2022 : 23 ).
- Mencegah dampak domino ekonomi: Penuntutan korporasi besar bisa menimbulkan PHK massal.
- Mendorong kepatuhan hukum: Dengan syarat reformasi internal, DPA memperkuat tata kelola perusahaan.
Tantangan Penerapan DPA di Indonesia
- Asas legalitas: Sistem hukum masih kaku dengan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ( Hamzah 2008 : 45).
- Potensi penyalahgunaan kewenangan: DPA bisa menjadi alat kompromi bila tidak diawasi.
- Kepercayaan publik: Ada risiko publik menganggap DPA sebagai “jalan damai” bagi koruptor ( Muladi, 2002 : 93) .
Contoh Kasus Konkret Internasional
- Standard Chartered Bank (Inggris, 2019): membayar £842 juta dalam DPA karena pelanggaran anti-pencucian uang. Kasus ini mencerminkan keadilan korektif dan prinsip utilitarianisme (Serious Fraud Office UK, 2019 : 5)
- Rolls-Royce (Inggris, 2017): menyelesaikan kasus suap lintas negara melalui DPA dengan denda £497 juta serta kewajiban reformasi kepatuhan. Ini mencerminkan Law and Economics sekaligus Restorative Justice ( Serious Fraud Office UK, 2017 :
Prospek Pengaturan DPA di Indonesia
- Revisi KUHAP atau pembentukan UU khusus terkait pengaturan DPA sebagai dasar hukum harus jelas .
- Keterlibatan pengadilan, Ketua/Hakim harus mengesahkan DPA untuk menjaga objektivitas.
- Mekanisme transparansi publik agar tidak terjadi praktik kompromi di bawah meja.
- Integrasi dengan keadilan restoratif guna Pemulihan kerugian negara sebagai orientasi utama.
Kesimpulan
DPA merupakan instrumen hukum modern yang berbasis pada teori utilitarianisme, keadilan korektif, restorative justice, hukum progresif, efektivitas hukum, ekonomi hukum, dan integritas hukum.
Dengan penerapan yang transparan, akuntabel, dan diawasi pengadilan, DPA tidak menjadi bentuk impunitas, melainkan sarana efektif untuk mewujudkan kepastian hukum, keadilan substantif, dan kemanfaatan sosial bagi bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
- Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, (Oxford: Clarendon Press, 1789).
- Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, (New York: Good Books, 2015).
- Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, (Jakarta: Kompas, 2009).
- Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (New Haven: Yale University Press, 1922).
- Aristoteles, Nicomachean Ethics, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).
- Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, (New York: Aspen Publishers, 2014).
- Ronald Dworkin, Law’s Empire, (Cambridge: Harvard University Press, 1986).
- Brandon L. Garrett, Too Big to Jail: How Prosecutors Compromise with Corporations, (Cambridge: Harvard University Press, 2014).
- John C. Coffee, Corporate Crime and Punishment: The Crisis of Underenforcement, (Cambridge: Harvard University Press, 2020).
- Transparency International, Deferred Prosecution Agreements: Global Trends and Lessons for Anti-Corruption, (Berlin: Transparency International, 2022).
- Serious Fraud Office (UK), Rolls-Royce Deferred Prosecution Agreement, 2017.
- Serious Fraud Office (UK), Standard Chartered Bank Deferred Prosecution Agreement, 2019.
- Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2002).
- Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008).
- Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045.
========mn========

