APRESISI PUTUSAN MK, PK JAKSA INKONSTITUSIONAL

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Analisis Hukum
Seri Hukum Acara Pidana

APRESISI PUTUSAN MK, PK JAKSA INKONSTITUSIONAL
Oleh F. Willem Saija

    Mahkamah Konstitusi RI, melalui putusan Nomor 20/PUU-XXI/2023, tanggal 14 April 2023, memutuskan kewenangan Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (PK), sebagaimana diatur Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan ini menarik karena kewenangan Jaksa yang disisipkan pada perubahan UU yang baru disahkan DPR tanggal 31 Desember 2021, kembali dibatalkan MK.

PK Jaksa Dalam UU Kejaksaan Terbaru

Seperti diketahui, berdasarkan pasal 30C huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Kejaksaan berwenang mengajukan Peninjauan Kembali. Ketentuan ini berbeda dengan pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang hanya memberikan kewenangan kepada Terpidana atau ahliwaris untuk mengajukan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana.
     Putusan MK tersebut pada dasarnya menegaskan kembali tafsir resmi MK atas norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang pernah diuji sebelumnya. Dalam Putusan Nomor 16/PUU-VI/2008, MK menyatakan, Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara bersyarat bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo. Oleh karena itu yang berhak melakukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Kemudian dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016, MK menegaskan lagi bahwa Jaksa/Penuntut Umum tidak berwenang mengajukan PK, kecuali Terpidana atau ahliwaris.
    Lahirnya putusan MK Nomor 20/PUU-XXI/2023, berawal dari permohonan Hartono, seorang notaris yang tinggal di Denpasar, Bali, yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 30 C huruf h UU No 11/2021. Hartono, semula adalah Terdakwa perkara pidana pemalsuan surat yang diputus bersalah dan dihukum penjara selama 2 (dua) tahun oleh PN Gianyar, sesuai putusan Nomor 49/Pid.B/2019/ PN.Gin, tanggal 13 Nopember 2019. Tidak puas atas putusan tersebut, ia mengajukan banding. Putusan banding PT Denpasar Nomor 78/PID/2019/PT.DPS, tanggal 21 Januari 2020, menyatakan ia tidak terbukti dan dibebaskan. Jaksa ajukan kasasi atas putusan bebas tersebut. Putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor: 534 K/PID/2020, menyatakan Terdakwa terbukti bersalah dan dihukum dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun.
    Terdakwa Hartono kemudian mengajukan upaya hukum luar biasa ke MA. Putusan majelis PK MA Nomor 41 PK/Pid/2021, tanggal 15 September 2021, menyatakan Terpidana tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan penuntut umum dan membebaskan Terpidana dari semua dakwaan. Jaksa/Penuntut Umum tidak puas  atas putusan PK tersebut, kemudian mengajukan Peninjauan Kembali pada tanggal 26 Desember 2022. Inilah inti keberatan Hartono terhadap kewenangan PK Jaksa hingga mengajukan permohonan uji materiil perubahan UU Kejaksaan.
Pengaturan upaya hukum PK pidana, sebenarnya sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya pasal 263 ayat (1) yang menegaskan, “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjuan kembali kepada Mahkamah Agung”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, jelas bahwa subjek hukum yang berwenang mengajukan PK, adalah terpidana atau ahli warisnya dan bukan Jaksa.
Meskipun sudah diatur secara limitatif dalam hukum acara pidana dengan tujuan adanya kesatuan sistem dan penerapan hukum acara pidana yang standar guna menjamin kepastian hukum dan keadilan dalam proses peradilan pidana namun prakteknya tidak berbanding lurus dengan normanya yang tertulis.

Pendapat MA
    Prakteknya bukan hanya Terdakwa atau ahli waris yang dapat mengajukan PK tetapi juga Jaksa. Hal ini terlihat pada beberapa putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan PK dari Jaksa. Dimulai dari putusan MA No. 55/PK/Pid/1996, tanggal 25 Oktober 1996, Terpidana Muchtar Pakpahan, dalam kasus tuduhan mendalangi aksi unjuk rasa buruh di Medan pada April 1994. Dalam perkara ini, MA menganulir putusan bebas Muchtar pada tingkat kasasi dan menghukum Terpidana dengan pidana penjara empat tahun. Putusan PK ini seolah menjadi Yurisprudensi dan diikuti beberapa putusan lainnya, seperti putusan PK No. 3 PK/Pid/2001, tanggal 2 Agustus 2001, kasus The Gandhi Memorial School dengan Terpidana Ram Gulumal. Selanjutnya putusan PK Nomor 15 PK/Pid/2006, tanggal 19 Juni 2006, Terpidana Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih dalam kasus perusakan barang. Ada juga putusan PK Nomor 109 PK/Pid/2007, Terpidana Pollycarpus Budihari Prijanto, dalam kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib dan lain-lain.
    Argumen yang dibangun pada putusan-putusan PK diatas, beragam misalnya pasal 263 KUHAP tidak secara tegas melarang ajukan PK jadi hakim dapat menafsirkan ketentuan UU yang tidak jelas. Alasan lain, PK Jaksa dimungkinkan, mengacu pada pasal 23 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2004 (sekarang pasal 24 ayat 1 UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaaan Kehakiman). Intinya pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Frasa pihak-pihak yang bersangkutan, ditafsirkan, Jaksa sebagai salah satu pihak selain Terdakwa. Jadi alasan yang digunakan majelis PK adalah interpretasi ekstensif.
Menariknya dalam banyak kasus MA selalu menolak atau tidak menerima PK Jaksa dengan alasan bertentangan norma pasal 362 ayat (1) KUHAP atau tidak ada kepentingan negara atau kepentingan umum yang harus dlindungi atau alasan lain yang bersifat  substansial seperti tidak terdapat novum, tidak terdapat saling pertentangan dalam pelbagai putusan maupun tidak terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan.

Pro kontra PK Jaksa

    Putusan MA itu menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli hukum. Berikut cuplikan pendapat yang kontra. Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dari pendekatan sistem linier maupun pendekatan sistem pembagian upaya hukum luar biasa yang diatur KUHAP dihubungkan dengan ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, dapat ditarik kesimpulan, baik terhadap putusan bebas maupun pemindanaan, Penuntut Umum tidak mempunyai hak mengajukan PK. Ada juga pendapat OC Kaligis: MA telah menafsirkan suatu norma diluar cara-cara yang lazim dikenal dalam doktrin hukum. Penafsiran suatu norma secara bebas, tanpa landasan yuridis, filosofis, historis dan diluar logika hukum dapat digolongkan bebas yang merusak (interpretatio est perversio)
Sementara itu, pendapat yang pro, antara lain Supardji Ahmad, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Alzhar Indonesia (UAI). Menurutnya, pengaturan norma Pasal 30C huruf h Perubahan UU Kejaksaan bukanlah upaya menentang putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 atau bukanlah bentuk pembangkangan hukum. Namun sebagai bagian dari perbaikan dan perluasan norma yang semula terbatas limitatif hak terpidana atau ahli warisnya
Dualisme pendapat diatas menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan negara tertinggi diharapkan selalu menjaga kesatuan hukum dalam produk putusannya. Pandangan berbeda soal kewenangan Jaksa mengajukan PK pidana mengakibatkan Mahkamah Agung dianggap tidak konsisten menerapkan kaidah hukum acara dan tidak mampu menjaga kesatuan penerapan hukum.
    Tafsir Mahkamah Agung bahwa Jaksa berwenang ajukan PK juga tidak sejalan dengan asas Lex Stricta, yang bermakna, aturan dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat. Konsekuensinya, ketentuan dalam hukum acara pidana tidak dapat ditafsirkan selain dari apa yang tertulis. Artinya kalau pembentuk Undang Undang sudah menentukan normanya bahwa PK dapat diajukan oleh Terpidana atau ahliwaris dan tidak menegaskan larangan Jaksa mengajukan PK, bukan berarti bahwa karena tidak secara tegas dilarang maka Jaksa boleh berwenang. Hakim pada dasarnya tidak dibenarkan membuat tafsir dengan melanggar kehendak pembuat Undang Undang.
Terlepas dari dualisme pendapat Mahkamah Agung tersebut, Pemerintah melalui Kejaksaan Agung memandang bahwa momentum yang tepat untuk memasukan lagi kewenangan PK Jaksa dalam RUU Kejaksaan, pengganti UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Pada akhirnya kewenangan itu diakomodir dalam UU No. 11 Tahun 2021.

Pendapat  MK

   Namun UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, khususnya Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h, terkait kewenangan Jaksa ajukan PK pidana, dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
Menurut MK, dengan disisipkannya Pasal 30C huruf h beserta Penjelasannya dalam UU 11/2021 berarti telah menambah kewenangan kejaksaan, in casu kewenangan untuk mengajukan PK tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas tentang substansi dari pemberian kewenangan tersebut. Penambahan kewenangan tersebut bukan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum, namun juga akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh Jaksa khususnya dalam hal pengajuan PK terhadap perkara yang notabene telah dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Seharusnya pembentuk undang-undang memahami benar bahwa dengan menyisipkan tambahan kewenangan kepada Kejaksaan untuk mengajukan PK akan berdampak terhadap terlanggarnya keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
     Putusan MK tersebut patut diapresiasi karena memberikan legitimasi  kuat bahwa praktek peradilan pidana yang memungkinkan Jaksa mengajukan PK, adalah bertentangan dengan hukum positif, seperti diatur pasal Pasal 263 ayat (1) KUHAP, karena itu harus dihentikan. Prinsipnya dikembalikan ke norma dasar, pihak berwenang mengajukan PK dalam perkara pidana hanya Terdakwa/Terpidana atau ahli warisnya.
     Putusan MK tersebut dipastikan akan menghilangkan dualisme praktek pengajuan PK oleh Jaksa. Selain itu putusan itu ingin menegaskan kembali konsisitensi penerapan hukum acara yang benar sesuai ketentuan KUHAP. PK sebagai upaya hukum luar biasa merupakan piranti hukum yang didesain KUHAP untuk melindungi hak asasi terpidana. Dari sejarah pembentukan KUHAP, pada Rapat Paripurna DPR RI, tanggal 9 Oktober 1979, ketika membahas RUU KUHAP, berbagai Fraksi mengemukakan alasan persetujuan bahwa Lembaga PK ini justru diadakan untuk melindungi kepentingan Terpidana, sehingga tidak sulit untuk disepakati.
    Jadi aneh kalau ada norma baru yang menyimpangi KUHAP bahwa Jaksa berwenang ajukan PK pidana. Sebab hal itu mengesankan lembaga PK sebagai upaya hukum luar biasa diposisikan  seperti lembaga peradilan tingkat keempat, dimana baik Terdakwa atau ahli waris maupun Jaksa dapat sama-sama mengajukan PK.
Tulisan sederhana ini, diakhiri dengan mengutip kembali putusan MK diatas, yang menegaskan kembali empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas tersurat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yaitu:

1) Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh  kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak).
2) Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala  tuntutan hukum.
3) Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.
4) Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

Penulis adalah KPT Kaltara.

  1. M. Yahya Harahap, S.H., Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Penerbit Sinar Grafika, Edisi Kedua, September 2000, hal. 644.
  2.  2.Otto Cornelis Kaligis, Miscarriage of Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado, tanggal 8 Nopember 2008.
  3.  Polemik Kewenangan Jaksa Ajukan Peninjauan Kembali, Dikutip dari  https://www.hukumonline.com/ berita/ a/polemik-kewenangan Jaksa-ajukan-peninjauan-kembali, Jumat, 5 Mei 2023, 16.15 WITA.
  4. Sejarah Pembentukan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentan Hukum Acara Pidana”, Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangan Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 2 April 1982, hal. 215 dan 226.

Download Dokumen : APRESISI PUTUSAN MK, PK JAKSA INKONSTITUSIONAL


2025 @ Template PT Kalimantan Utara