YURISPRUDENSI, SUMBER REFERENSI
HAKIM JUDEX FACTI
Oleh: F. Willem Saija
PENGANTAR
Para Hakim dibawah Mahkamah Agung seringkali mengutip Yurisprudensi sebagai salah satu sumber referensi putusan. Namun masih banyak juga putusan yang mengabaikan Yurisprudensi. Padahal mengutip Yurisprudensi dapat memacu profesionalisme dalam mengadili perkara, sebab mutu putusannya akan dapat dinilai oleh masyarakat dan pemerhati hukum mengingat ada standar hukum pada kasus serupa.
Yurisprudensi, memiliki pengertian berbeda pada common law system maupun civil law system seperti halnya di Indonesia. Pada common law system, istilah ’’yurisprudence” berarti ilmu pengetahuan hukum yang memuat prinsip-prinsip hukum positip dan hubungan-hubungan hukum. Sedangkan civil law system, istilah yurisprudensi diartikan sebagai putusan-putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para Hakim atau Badan-badan Peradilan lainnya dalam kasus atau perkara yang sama. Sering pula kumpulan hukum demikian disebut "rechtersrecht" atau hukum yang sering ditimbulkan melalui putusan-putusan hakim atau peradilan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Yurisprudénsi diartikan sebagai (1) ajaran hukum melalui peradilan atau (2) himpunan putusan hakim, sedangkan dibidang medis, artinya penerapan pengetahuan medis terhadap undang-undang yang menyangkut kehidupan dan penilaian, termasuk memberikan kesaksian terhadap perbuatan menyimpang dalam praktik kedokteran.
Dalam sistem peradilan di Indonesia, istilah Yurisprudensi lebih dimaknai sebagai produk putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan tetap dalam perkara serupa dan biasanya diikuti oleh Hakim pada peradilan dibawah Mahkamah Agung (MA).
Yurisprudensi lahir karena ada persoalan hukum pada kasus konkrit yang tidak ditemukan solusinya pada peraturan perundangan atau norma dalam UU terlampau umum, abstrak atau tidak sesuai dengan kondisi konkrit. Sehingga Hakim harus melakukan penafsiran terkait persoalan hukum yang tidak ada atau tidak jelas normanya dalam peraturan perundangan agar hasilnya dapat diterapkan pada kasus konkrit. Namun menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., menafsirkan UU tidak boleh bertentangan dengan UU itu sendiri (contra legem). Terlebih kalau UU itu sudah cukup jelas. Hal ini sejalan dengan asas hukum: Interpretatio cessat in claris, interpretation est perversio, jika teks redaksi undang-undang telah jelas, tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, sebab penafsiran terhadap kata-kata yang jelas berarti penghancuran.
Praktek peradilan lazim mengenal Yurisprudensi tetap dan tidak tetap. Yurisprudensi tetap, sering diartikan sebagai putusan hakim yang terjadi karena ada putusan-putusan pada kasus serupa yang telah berkekuatan hukum tetap, dijadikan pedoman memutuskan perkara serupa serta diikuti oleh para Hakim lainnya. Sedangkan yurisprudensi tidak tetap, diartikan sebagai sebagai putusan hakim terdahulu yang belum masuk menjadi yurisprudensi tetap.
Kriteria putusan sebagai Yurisprudensi
Menurut Prof. Dr. Paulus Lotulung, S.H, dalam penyusunan Yurisprudensi Indonesia (versi baru) telah ditetapkan kriteria seleksi dalam memilih putusan-putusan hakim yang dapat dipublikasikan yaitu:
- Putusan menarik perhatian masyarakat.
- Putusan mencerminkan pendekatan baru terhadap sesuatu masalah hukum.
- Putusan melibatkan berbagai masalah hukum (complexitas yuridis).
- Putusan mempertegas sesuatu aspek hukum.
- Putusan mencerminkan arah perkembangan hukumnasional.
- Putusan menyangkut kepentingan masyarakat luas.
- Putusan mencerminkan konsistensi pendirian MA sebagai suatu lembaga tinggi negara.
Sebagai perbandingan, dalam Kata Pengantar Buku Himpunan Yurisprudensi Mahkamah Agung Sampai Dengan Tahun 2018, Ketua MA RI, Dr. HM. Syarifuddin, S.H, M.H., tertulis, suatu putusan dikatakan sebagai Yurisprudensi Tetap apabila sekurang-kurangnya memiliki 6 (enam) unsur-unsur sebagai berikut:
(1). Putusan atau perkara yang belum ada aturan hukumnya atau hukumnya kurang jelas;
(2). Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap;
(3). Putusan memiliki muatan kebenaran dan keadilan;
(4). Putusan telah berulang kali diikuti oleh Hakim berikutnya dalam memutus kasus yang mempunyai kesamaan fakta, peristiwa dan dasar hukum;
(5). Putusan tersebut dibenarkan oleh MA melalui putusan MA maupun uji eksaminasi atau notasi oleh tim Yurisprudensi MA;
(6). Putusan telah direkomendasikan sebagai putusan yang berkualifikasi Yurisprudensi tetap.
Jadi intinya, putusan dapat memenuhi kriteria sebagai Yurisprudensi manakala putusan itu selain berkekuatan hukum tetap juga bernilai penting dalam memberi solusi persoalan hukum di masyarakat atau menciptakan hukum atau perubahan/penambahan lebih lanjut terhadap suatu putusan yang sudah terkenal tanpa memperhatikan apakah putusan tersebut diikuti atau tidak oleh hakim lain dalam memutus perkara serupa/ sejenis.
Pertanyaannya, siapa yang berwenang menyeleksi dan menilai putusan penting berdasarkan kriteria diatas untuk dijadikan Yurisprudensi? Selama ini, peran dan kewenangan ini dilakukan oleh MA. Setiap periode tertentu, Ketua MA mengeluarkan Keputusan Ketua MA mengenai Pembentukan Tim Penerbitan Yurisprudensi MA, yang biasanya diketuai salah satu unsur pimpinan MA, dibantu Hakim Agung, Pejabat esalon dan para peneliti. Tim ini bertugas mengumpulkan dan memilih, menyusun dan mengolah putusan MA sesuai kriteria diatas untuk dijadikan Yurisprudensi dan dipublikasikan.
Beberapa Yurisprudensi Penting
Dalam sejarah peradilan banyak putusan penting dan bersejarah yang dijadikan Yurisprudensi. Peradilan di Indonesia banyak mewarisi kaidah hukum Yuriprudensi putusan Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) di masa lalu, misalnya di bidang Hukum Perdata, dikenal arrest Hoge Raad 31 Januari 1919, dalam kasus Lindenbaum versus Cohen, yang memperluas pengertian perbuatan melawan hukum (PMH). Sebelum kasus itu muncul, PMH hanya diartikan sebagai pelanggaran perundangan semata. Namun setelah kasus itu muncul, Hoge Raad, memperluas pengertian PMH, tidak saja melanggar peraturan perundangan tetapi mencakup perbuatan bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri atau dengan kesusilaan dan bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.
Demikian pula arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921, terkait pencurian aliran listrik. Aliran “listrik” ditafsirkan secara luas oleh Hoge Raad, disamakan dengan “barang”, sehingga terdakwa dihukum dengan pasal pencurian. Yurisprudensi lama itu hingga kini masih digunakan hingga saat ini.
Mahkamah Agung RI sudah banyak menerbitkan Yurisprudensi Tetap dan sering menjadi rujukan Hakim dibawahnya. Berikut, dikutip secara acak beberapa Yurisprudensi lama namun tetap aktual dalam praktek peradilan.
- Perkara Pidana
- Sifat melawan hukum. Putusan MA No.30K/Kr/1969, tanggal 6 Juni 1970. Kaidah Hukum: Dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur “sifat melawaan hukum” dari perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan. Meskipun rumusan delik penadahan tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum, tidak berarti perbuatan yang dituduhkan tidak merupakan delik penadahan, walaupun sifat melawan hukum tidak ada sama sekali.
- Sengaja Untuk Membunuh. Putusan MA No.1295 K/Pid/1985, tanggal 2 Januari 1986. Kaidah Hukum : Kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang lain, dapat dibuktikan dengan alat yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan tempat pada badan korban yang dilukai alat itu.
Kaidah hukum ini diikuti oleh putusan-putusan berikutnya, seperti Putusan MA No.908 K/Pid/2006, tanggal 28 Juni 2006, Putusan MA No.1293 K/Pid/2013, tanggal 13 Nopember 2013, Putusan MA No.692 K/Pid/2015, tanggal 22 Juni 2015, Putusan MA No.598 K/Pid/2017, tanggal 16 Juni 2017.
1.3 Delik Aduan. Putusan MA No. 57K/Kr/1968, tanggal 15 Februari 1969.
Kaidah Hukum: Dalam delik aduan, tempo yang dimaksud dalam pasal 74 ayat (1) KUHP adalah dihitung sejak yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan, bukan sejak diketahui perbuatan yang dilakukan benar atau tidak.
- Perkara perdata
- Jual beli Tanah/Rumah Pakai Nama Orang Lain. Putusan MA No.147 K/Sip/1979, tanggal 4 Oktober 1980. Kaidah hukum: Jual beli tanah/rumah adalah tidak sah karena ternyata Tergugat asal bukan pembeli yang sebenarnya melainkan hanya dipinjam namanya saja, sedangkan pembeli yang sesungguhnya adalah Penggugat asal yang pada waktu itu masih Warga Negara Asing (WNA). Dengan demikian, perjanjian jual beli tersebut mengandung suatu sebab yang dilarang undang undang (ongeoorlofde oorzak), yaitu ingin menyelundupi ketentuan larangan dalam pasal 5 jo pasal 21 UUPA.
- Pembeli Beriktikad Baik.Putusan MA No.821 K/Sip/1976, tanggal 28 Agustus 1976. Kaidah Hukum: Pembeli yang membeli suatu benda melalui pelelangan umum oleh Kantor Lelang Negara adalah sebagai pembeli yang beritikad baik dan harus dilindungi olen undang undang. Kaidah hukum serupa diikuti oleh putusan MA No. 1230 K/Sip/1980, tanggal 29 Maret 1982 dan Putusan MA No. 3604 K/Sip/1985, tanggal 17 Nopember 1987, Putusan MA 3201 K/Pdt/1991, tanggal 30 Januari 1996.
- Ingkar Janji Kawin, Perbuatan Melawan Hukum. Putusan MA, No. 3191 K/Pdt/1984, tanggal 8 Februari 1984. Kaidah Hukum: Dengan tidak dipenuhi janji untuk mengawini, tergugat asal telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat adalah suatu perbuatan melawan hukum. Tuntutan ganti rugi yang diajukan penggugat asal terhadap semua biaya yang telah dikeluarkan selama hidup bersama itu, oleh karena tidak diperjanjikan sebelumnya, maka tuntutan tersebut harus ditolak.
Kaidah hukum yang sama, juga terlihat pada putusan MA No.3277 K/Pdt/2000, tanggal 18 Juli 2003.
- Antara Penipuan atau Wanprestasi. Putusan MA No.1689 K/Pid/2015, tanggal 12 Januari 2016. Kaidah Hukum: Hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran,dan itikad buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan.
Menurut MA, untuk menilai suatu perbuatan/perjanjian termasuk kategori penipuan (pidana) atau wanperstasi (perdata) harus dilihat apakah perjanjian tersebut didasari atas itikad baik atau sebaliknya. Kaidah yang sama terlihat pada putusan MA No. 366 K/Pid.Sus/2016, tanggal 18 Mei 2016 dan No. 211 K/Pid/2017, tanggal 25 April 2017.
Sebaliknya menurut MA, suatu perjanjian yang dibuat secara sah dan iktikad baik, jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya maka hal tersebut bukan merupakan penipuan tetapi persoalan keperdataan, sehingga yang bersangkutan harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.
Hal itu terangkum dalam Putusan No. 598K/Pid/2016, tanggal 14 Juli 2016, Putusan No. 1357 K/Pid/2015, tanggal 29 Januari 2016, Putusan No. 1316 K/Pid/2016, tanggal, 14 Desember 2016 dan Putusan No. 902 K/Pid/2017, tanggal 24 Oktober 2017.
Menarik untuk menyimak pendapat Dr. Yahman, S.H., M.H., yang mengemukakan, untuk mengetahui batasan pembeda antara “wanprestasi” dan “penipuan” adalah terletak pada “tempus delicti” (waktu) ketika “kontrak itu ditutup”. Apabila “setelah” (post factum) kontrak ditutup diketahui ada tipu muslihat, keadaan palsu atau rangkaian kata bohong dari salah satu pihak, maka perbuatan itu adalah wanprestasi. Jika suatu kontrak setelah ditutup ternyata “sebelumnya” (ante factum) ada rangkaian kata bohong, keadaan palsu, tipu muslihat dari salah satu pihak, maka perbuatan itu merupakan penipuan.
- Keseteraan Gender Dalam Hukum Waris Adat
Di beberapa suku di daerah tertentu yang masih sangat kuat mempertahankan paham garis keturunan laki-laki (patrilinieal) yang tidak mengakui kesetaraan hak perempuan dengan laki-laki termasuk soal warisan. Namun MA dalam beberapa putusan, demi prinsip keadilan dan kesetaraan gender merubah tatanan hukum adat tersebut. Hal ini terlihat pada putusan No.179 K/SIP/1961 tanggal 23 Oktober 1961 dalam perkara Langtewas dkk melawan Benih Ginting terkait sengketa kewarisan dalam adat Karo, Mahkamah Agung menyatakan, atas rasa peri kemanusiaan dan keadilan umum serta atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, jadi juga di Tanah Karo, bahwa seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan orang tuanya.
Salah satu putusan yang berbeda dengan kaidah diatas adalah putusan kasasi No.506K/Sip/1968, tanggal 22 Januari 1969. Menurut MA, Di Tapanuli, anak perempuan tidak berhak mewarisi harta pusaka atas ayahnya.
Namun dalam putusan beberapa perkara berikutnya, MA telah kembali pada kaidah hukum semula, kesetaraan hak laki-laki dan perempuan. Hal itu terlihat dalam putusan MA Nomor 415 K/SIP/1970 tanggal 16 Juni 1971, terkait sengketa kewarisan hukum adat Batak Mandailing, perkara Usman dkk melawan Marah Iman Nasution dkk, MA menyatakan: Hukum Adat di Daerah Tapanuli kini telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki;
Dalam perkara lain menyangkut kewarisan yang berlaku pada hukum adat Bali, juga menganut paham patrilineal, MA melalui putusan No. 4766 K/Pdt/1998 tanggal 16 Nopember 1999, kembali menegaskan kaidah hukum bahwa: Perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris walaupun sistem pewarisan di Bali sendiri menganut sistem pewarisan mayorat laki-laki.
Putusan MA terkait kesamaan hak laki-laki dan perempuan di atas kemudian secara konsisten diterapkan dalam putusan-putusan MA berikutnya seperti putusan No. 1048K/Pdt/2012 tanggal 26 September 2012. Perkara ini terkait pembagian waris adat Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Dalam pertimbangannya MA menyatakan: hukum adat yang tidak sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat, seperti hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan kedudukan laki-laki, tidak dapat lagi dipertahankan;
Penyetaraan hak waris perempuan kembali diputuskan MA melalui putusan kasasi No. 147 K/Pdt/2017, tanggal 18 April 2017, terkait perkara waris adat Tionghoa. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan: Bahwa dalam rangka kesetaraan gender, hak wanita dan pria adalah sama dalam hukum, maka adil dan patut harta benda sipeninggal waris harus dibagi sama oleh ahli waris tanpa membedakan pria dan wanita terlebih lagi hukum adat Tionghoa yang tidak tertulis dan harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Tidak adil memposisikan anak laki-laki tertua sebagai satu-satunya penerima warisan orang tuanya terhadap harta benda tetap, sementara anak perempuan hanya mendapat perhiasan. Pandangan serupa juga terlihat dalam putusan MA No. No. 573 K/Pdt/2017, tanggal 19 Juni 2017, mengenai pembagian waris dalam adat Batak dan Putusan MA No.1130 K/Pdt/2017, tanggal 10 Juli 2017, mengenai pembagian waris dalam adat Manggarai di Nusa Tenggara Timur.
Penerapan kaidah hukum putusan diatas, menunjukan Pengadilan di Indonesia sudah mengimplementasikan prinsip persamaan substantif seperti ditegaskan pasal 5 Konvensi CEDAW.
- Alasan Perceraian.
Salah satu alasan perceraian adalah cekcok terus menerus dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi (onheelbare tweespalt). Putusan MA No.3180/Pdt/1985, tanggal 28 Januari 1987. Kaidah Hukum: Pengertian cekcok terus menerus yang tidak dapat didamaikan bukanlah ditekankan pada penyebab percekcokan yang harus dibuktikan. Akan tetapi melihat dari kenyataan adalah benar terbukti adanya cekcok yang terus menerus sehingga tidak dapat didamaikan lagi.
MA kemudian menyempurnakan kaidah hukum tersebut melalui putusan No.534 K/Pdt/1996, tanggal 18 Juni 1996, “Bahwa dalam hal perceraian tidak perlu dilihat dari siapa penyebab percekcokan atau salahsatu pihak telah meninggalkan pihak lain, tetapi yang perlu dilihat adalah perkawinan itu sendiri apakah perkawinan itu masih dapat dipertahankan lagi atau tidak”.
- Sertifikat GandaAtas Tanah Yang Sama. Putusan MA No. 976 K/Pdt/2015, tanggal 27 Nopember 2015.
Kaidah hukum: Jika terdapat sertifikat ganda atas tanah yang sama, dimana keduanya sama-sama otentik maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat hak yang terbit lebih dahulu. Kaidah hukum itu kemudian diikuti masing-masing dengan putusan MA No. 290 K/Pdt/2016, tanggal 17 Mei 2016, No.143 PK/Pdt/2016, tanggal 19 Mei 2016, No.1318 K/Pdt/2017, No.734 PK/Pdt/2017, No.170 K/Pdt/2017, tanggal 10 April 2017.
- Hukum Acara
- Pembarengan Tindak Pidana. Putusan MA No. 432K/Kr/1981, tanggal 22 April 1982. Kaidah Hukum: Karena selain tuduhan kesatu, telah terbukti pula tuduhan kedua, dalam amar harus dicantumkan kualifikasi kejahatan tuduhan kedua. Karena ada dua kejahatan yang saling berkaitan sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan dan karena itu dikenakan satu hukuman.
- Bantahan (verzet) terhadap Sita Jaminan. Putusan MA No. 1346K/Sip/1971, tanggal 23 Maret 1973. Kaidah Hukum: Bantahan terhadap conservatoir beslag bersifat insidentil, sehingga kalau diterima sebagai bantahan maka seharusnya diperiksa tersendiri (insidentil) dengan menunda dulu pemeriksaan pokok perkara. Kedua perkara tersebut tidak disatukan apalgi dengan dua nomor.
Apakah hanya Putusan MA menjadi Yurisprudensi?
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 tahun 1972 tentang Pengumpulan Yurisprudensi, ditentukan bahwa demi terwujudnya kesatuan hukum, hanya Mahkamah Agung (MA) satu-satunya lembaga konstitusional yang bertanggung jawab mengumpulkan Yurisprudensi yang harus diikuti oleh Hakim dalam mengadili perkara. Demikian juga dalam Keputusan Ketua MA No. 39/KMA/SK/II/2019 tentang Tim Penyusun Yurisprudensi MA RI mengenai Rumusan Kaidah Hukum dalam Putusan-Putusan Penting, disebutkan tim bertugas: mengumpulkan, memilih, meneliti, menyusun dan mengolah putusan-putusan MA sebagai bahan penerbitan Yurisprudensiu MA.
Dari kedua aturan diatas, dapat ditafsirkan hanya MA yang berwenang menciptakan Yurisprudensi dan sumbernya berasal dari putusan-putusan MA. Hal demikian mungkin didasari pemikiran, putusan penting sebagai kaidah hukum Yurisprudensi, lahir dari pemikiran hukum seorang Hakim Agung yang punya pengetahuan hukum, pengalaman dan wawasan luas. Selain itu dari segi kelembagaan, MA sebagai lembaga peradilan tertinggi memiliki kewibawaan dan kompetensi menetapkan kebijakan tertentu bidang peradilan temasuk menciptakan Yurisprudensi.
Lalu apakah putusan Pengadilan Tingkat Pertama atau Tingkat Banding, yang diterima para pihak dengan baik dan tidak sampai ke tingkat kasasi, dapat dijadikan sebagai Yurisprudensi? Sebenarnya putusan pengadilan dibawah Mahkamah Agung, baik putusan Hakim Tingkat Pertama maupun Tingkat Banding, yang persoalan hukumnya menarik, memenuhi kriteria yang disebutkan diatas kemudian diterima para pihak dengan baik dan telah berkekuatan hukum tetap, dapat kategorikan sebagai Yurisprudensi. Sayangnya putusan demikian kurang terpublikasi berakibat tidak bisa diakses atau dipelajari dan dikaji oleh Hakim lain sehingga tidak bisa dijadikan rujukan bagi Hakim lain. Padahal sebenarnya putusan atau penetapan Hakim Tingkat Pertama, pada kasus tertentu, menarik perhatian masyarakat dan bernilai penting mendapat apresiasi karena dianggap fenomenal bagi perkembangan hukum nasional.
Salah satu contoh produk Pengadilan terpenting dan menarik adalah Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat-Selatan Nomor 546/73.P, tanggal 19 November 1973 yang mengabulkan permohonan ganti kelamin Vivian Rubianti Iskandar, semula laki-laki menjadi perempuan. Vivian adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa serta merupakan orang transgender pertama yang gender sebenarnya diakui oleh pengadilan Indonesia.
Kasus diatas menarik karena substansi permohonan merupakan hal baru dan tidak diatur oleh UU di Indonesia saat itu. Beberapa ahli yang memberi kesaksian di pengadilan, salah satunya adalah ahli teologi dan Pendeta Eka Darmaputera, berargumen, menurut keyakinan Kristiani, Tuhan menginginkan semua manusia untuk bahagia maka gereja mendukung kasus Vivian. Demikian pula Cendekiawan Islam Buya Hamka berargumen, keinginannya untuk berganti jenis kelamin sesuai dengan ajaran Islam, sebab ajaran Islam mengajarkan bahwa manusia dengan ilmunya haruslah dipergunakan untuk kemaslahatan kehidupan manusia itu sendiri.
Pada kasus tersebut, Hakim telah berperan menciptakan hukum, sebab dengan mengabulkan permohonan itu, peristiwa hukum perubahan jenis kelamin diakui secara hukum dan menjadi norma hukum baru dalam UU Administrasi Kependudukan.
Kasus serupa kemudian diikuti dengan permohonan serupa, seperti Penetapan PN Surabaya, Nomor 2531/Pdt.P/1988, tanggal 7 Oktober 1988, atas nama Dorce Gamalama (semula laki-laki menjadi perempuan), Penetapan PN Surabaya, Nomor 1188/Pdt.P/2018/PN Sby, tanggal 5 Nopember 2018, an. Avika Warisman (semula laki-laki menjadi perempuan), Penetapan PN Cibadak, Nomor 85/Pdt.P/2019 tanggal 22 Agustus 2019, an. Desri Susanti (semula perempuan menjadi laki-laki) dan lain-lain, meskipun ada juga Pengadilan Negeri yang menolak permohonan semacam itu, seperti Penetapan PN Kebumen, No. 1/Pdt.P/2021/PN Kbm, tanggal 18 Februari 2021, an. Dedi Sukma Pratama (semula laki-laki, permohonan menjadi perempuan).
Terlepas dari perbedaan diatas, harus diakui bahwa produk Pengadilan Tingkat Pertama yang menciptakan norma hukum baru diatas kemudian mendapat payung dalam UU Kependudukan, layak dikategorikan sebagai Yurisprudensi sebab Pengadilan telah menjalankan salah satu fungsinya, yaitu pembaruan dan pembangunan hukum melalui penciptaan sumber hukum baru;
Pesan inti disini, para Hakim di tingkat Judex Facti hendaknya selalu membuat produk putusan atau penetapan terbaik, sehingga kedepan akan mengisi lembaran Yurisprudensi yang terus berkembang seiring perkembangan waktu.
Sumber Referensi Lain Selain Yurisprudensi
Selain Yurisprudensi, praktek peradilan juga mengenal Landmark Decision atau putusan-putusan penting. Sejak tahun 2010, MA dalam Laporan Tahunannya selalu memasukan Landmark Decision atau putusan MA bernilai penting dalam bidang hukum dan menarik perhatian luas dalam masyarakat. Landmark Decision sebenarnya dapat digolongkan juga sebagai Yurisprudensi namun karena putusan penting itu belum diikuti secara berulang oleh Hakim lain dalam kasus serupa sehingga cenderung belum dikategorikan sebagai Yurisprudensi Tetap. Tetapi meskipun belum menjadi Yurisprudensi Tetap, Landmark Decision, selayaknya tetap menjadi rujukan para Hakim dibawah MA ketika menghadapi kasus serupa sebab substansinya memuat hal penting bagi perkembangan hukum atau terobosan hukum yang memberi solusi atas suatu persoalan hukum.
Dibawah ini dikutip secara random beberapa Landmark Decision yang susbstansinya menarik perhatian publik dan memuat kaidah hukum baru.
- Kasus Penggelapan Pajak Asian Agri(Putusan MA No.2239 K/PID.SUS/2012, tanggal 18 Desember 2012, Terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak. Terdakwa selaku Tax Manager PT Asian Agri Group (AAG), didakwa melanggar UU Perpajakan, dengan cara mengisi dan menyampaikan SPT PPh WP Badan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap secara berlanjut untuk 14 perusahaan yang tergabung dalam AAG, sejak Maret 2003 sampai November 2006, mengakibat kerugian negara sebesar Rp. 1.259.977.695.652. MA mempertimbangkan: Perbuatan itu terjadi karena ”mensrea” dari Terdakwa, namun semata-mata untuk kepentingan korporasi maka apa yang dilakukan oleh Terdakwa, dikehendaki atau ”mensrea” dari 14 (empat belas) korporasi. Sehingga pembebanan tanggung jawab pidana ”Individual Liability” dan Corporate Liability harus diterapkan secara simultan sebagai cerminan dari doktrin ”Vicarious Liability”, pertanggungan jawab pidana kepada korporasi atas perbuatan Terdakwa sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya sebab apa yang dilakukan Terdakwa telah diputuskan secara kolektif.
MA menghukum Terdakwa dengan hukuman penjara selama 2 tahun, masa percobaan 3 tahun, dengan syarat khusus dalam waktu 1 (satu) tahun, 14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam AAG yang pengisian SPT tahunan diwakili oleh Terdakwa untuk membayar denda 2 (dua) kali pajak terutang yang kurang dibayar, keseluruhannya berjumlah 2 kali Rp.1.259.977.695.652,- sama dengan Rp.2.519.955.391.304,-
Terhadap putusan itu, pakar hukum Pakar Hukum Pidana Indrianto Senoadji berpendapat putusan itu tidak tepat sebab AAG bukan subyek pidana dalam kasus terpidana Suwir Laut, sehingga tidak dapat dikenai hukuman pidana berupa denda. Terlepas pendapat berbeda, putusan itu dinilai merupakan terobosan baru dalam hukum sebab kasus penggelapan pajak biasanya dianggap sebagai administration penal (pidana administratif), namun MA menjatuhkan sanksi pidana bersifat ultimum remedium. Putusan itu sangat bagi pemasukan negara dibidang perpajakan sebab pada akhirnya seluruh denda yang merupakan pajak terhutang, yang menjadi hak negara, dibayar AGG pada tanggal 17 September 2014 melalui rekening Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
- Kasus Perdata Perusakan Lingkungan. Putusan MA No.460 K/Pdt/2016, tanggal 18 Agusus 2016.
Penggugat, Kementerian LH RI (Penggugat) melawan Tergugat, PT Merbau Pelelawan Lestari (MPL), bergerak di bidang Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (UPHHK-HT) di Kabupaten Pelalawan Riau sekaligus sebagai sebuah perusahaan penyuplai bahan baku kayu hasil hutan ke perusahaan pulp di Riau. Tergugat melakukan perbuatan melanggar hukum (PMH) dengan cara melakukan penebangan hutan di lokasi dan luar lokasi IUPHHK-HT selama 2004 s/d 2006.
Putusan MA menghukum dan memerintahkan tergugat membayar ganti kerugian atas kerusakan lingkungan hidup kepada negara melalui KLHK RI secara langsung dan seketika kepada Penggugat sejumlah Rp16.244.574.805.000,00.
Putusan kasasi itu sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 79/PDT/2014/PTR, tanggal 28 November 2014 dan Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor157/Pdt.G/2013/PN Pbr. tanggal 3 Maret 2014, intinya yang menolak gugatan Penggugat.
Pertimbangan MA: Dari bukti-bukti, saksi dan ahli yang diajukan masing-masing pihak ternyata terdapat perbedaan yang saling bertentangan, di satu pihak Penggugat menyatakan bahwa telah terjadi perusakan akibat penebangan yang dilakukan Tergugat, di lain pihak Tergugat menyatakan bahwa Tergugat tidak melakukan perusakan lingkungan dan tidak pernah menebang kayu di luar maupun di dalam izin yang diberikan. Keadaan ini disebut dengan ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty). Judex Facti semestinya merujuk pada asas kehati-hatian, seperti dinyatakan dalam Pasal 2 huruf f Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, diadopsi dari Prinsip ke-15 Deklarasi Rio 1992 (Precautionary Principle) yang berbunyi: “Untuk melindungi lingkungan hidup, pendekatan keberhati-hatian harus diterapkan oleh negara-negara.
Kaidah Hukum: Bilamana terdapat ancaman serius atau sungguh-sungguh atau kerugian yang tidak terpulihkan, ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk tidak membuat putusan yang mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup. Kegiatan pemanfaatan hutan adalah termasuk kegiatan yang harus tunduk pada asas keberhati-hatian karena hutan merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang di dalamnya terdapat pelbagai tumbuhan dan hewan yang perlu dilindungi dari kepunahan karena kawasan hutan dan unsur-unsur yang hidup di dalamnya memiliki banyak fungsi selain fungsi ekonomi, juga fungsi ekologis sebagai sumber obat-obatan, habitat satwa, penjaga tata air dan pembersih ruang udara. Sekali hutan mengalami kerusakan atau degradasi maka hutan itu tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible) seperti keadaan semula. Oleh sebab itu, kawasan hutan tunduk pada pengelolaan yang sangat berhati-hati dan konsep zonasi yaitu kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi.
Pada tingkat Peninjauan Kembali, dengan Putusan No. 666 PK/Pdt/2017, tanggal 17 Desember 2019, MA menolak menolak permohonan PK yang diajukan Pemohon, PT.MPL.
Meskipun belum jelas eksekusi putusan tersebut, namun kini izin operasi PT MPL telah dicabut. Putusan tersebut merupakan bentuk efek jera sekaligus pembelajaran bagi perusahaan lain diberikan hak pengeleloaan hutan namum merusak hutan.
- Kasus Eksekusi yang keliru. Perlawanan terhadap Penetapan KPN Pekanbaru No. 26/Pdt/Eks-Pts/2011/PN Pbr., juncto No. 75/Pdt.G/2007/PN Pbr., tanggal 9 April 2015, yang isinya antara lain: memerintahkan kepada Termohon Eksekusi I (Departemen Pendidikan Nasional), Termohon Eksekusi II (Pemerintah Provinsi Riau dan Termohon Eksekusi V (Universitas Riau) untuk melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada Penggugat/Pemohon Eksekusi (PT Hasrat Tata Jaya) sebesar Rp36.981.000.000,00 dengan menganggarkan dalam APBN/APBD yang berjalan atau APBN perubahan/APBD perubahan pada tahun berjalan ataupun dianggarkan.
Putusan MA No.349 PK/PDT/2017, tanggal 18 Juli 2017.
Pemohon PK/Pelawan: Pemerintah RI, cq. Kemenkeu RI, cq. Ditjen Kekayaan Negara, lawan para Termohon PK/Terlawan: (1). PT. Hasrat Tata Jaya, (2). Roduiyah, (3). Pemerintah RI, cq. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, (4). Universitas Riau dan Turut Termohon PK, (1). Pemerintah Kota Pekanbaru cq. Kecamatan Tampan dan (2). Pemerintah Kota Pekanbaru cq. Kecamatan Tampan
Cq. Kelurahan Simpang Baru
Dalil pemohon PK: Pelawan adalah pemilik sah atas barang milik negara BMN) berupa tanah seluas 8.875 m2, bagian dari Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 15/Simpang Baru, luas 100,4 ha atas nama Departemen Pendidikan Nasional tanggal 20 Juni 2002, diperoleh dengan menggunakan APBN Tahun 1986.
Pelawan tidak pernah diikutsertakan/dilibatkan sebagai pihak dalam perkara gugatan/putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 75/Pdt/G/2007/PN Pbr., juncto Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 32/PDT/2009/PTR, juncto Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3014K/Pdt/2009 juncto Putusan Mahkamah Agung RI No. 320 PK/PDT/2012 yang menimbulkan terbitnya penetapan Pengadilan Negeri Pekanbaru No. 26/Pdt/Eks-Pts/2011/PN Pbr., jo No.75/Pdt.G/2007/PN Pbr., tanggal 9 April 2015.
Pelawan sangat berkepentingan sekali terhadap aset BMN yang menjadi objek sengketa, dalam rangka menyelamatkan keuangan Negara, karena terhadap aset barang milik Negara tersebut diperoleh dengan menggunakan dana APBN. Bahwa terhadap tanah milik ahli waris almarhum Sihi, Roduiya tersebut sebelumnya telah dibayarkan ganti rugi oleh negara yang berasal dari APBN. Sehingga apabila negara harus diwajibkan untuk memberikan ganti rugi kembali maka akan merugikan keuangan/kekayaan negara yang tentunya pembayaran kedua dimaksud merupakan tindak pidana korupsi yang bertentangan dengan hukum.
Putusan MA mengabulkan permohonan PK. Kaidah Hukum: “Perlawanan terhadap penetapan eksekusi yang keliru, dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang bukan merupakan pihak dalam pokok perkara dengan mendalilkan bahwa pelawan merupakan pemilik atas objek yang disengketakan. Jika pemilik barang yang akan dieksekusi tidak turut digugat, maka kepadanya tidak dapat dituntut untuk melaksanakan putusan tersebut.”
Putusan PK ini sama kaidah hukumnya dengan putusan MA sebelumnya, dalam putusan PK No. 48/Pdt/2009 tanggal 15 September 2009.
Selain Yurisprudensi Tetap dan Landmark Decision yang disebutkan diatas, ada juga Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar, sejak sistem kamar diberlakukan di MA pada tahun 2011. Rumusan Hukum itu kemudian dituangkan dalam SEMA. Hingga pertengahan tahun 2023, terdapat 11 SEMA yang merumuskan berbagai persoalan hukum tertentu yang diberlakukan sebagai pedoman bagi hakim dibawah MA (Judex Facti). Kumpulan SEMA itu masing-masing nomor: (1). 07 Tahun 2012, (2). 04 Tahun 2014, (3). 05 Tahun 2014, (4). 03 Tahun 2015, (5). 04 Tahun 2016, (6). 01 Tahun 2017, (7). 3 Tahun 2018, (8). 2 tahun 2019, (9).10 tahun 2020, (10).5 Tahun 2021, dan (11). 1 Tahun 2022.
Dibawah ini dikutip cuplikan materi beberapa SEMA penting dan menarik sebagai rujukan penanganan perkara serupa/mirip serta untuk keseragaman penerapan hukum dalam praktek peradilan.
(1). Rumusan Kamar Pidana terkait Perkara Tipikor (SEMA 4 Tahun 2016).
Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.
(2). Rumusan Kamar Pidana Terkait Pembuktian Penyalah Guna Narkotika (SEMA 1 Tahun 2017).
Dalam hal terdakwa tidak tertangkap tangan sedang memakai narkotika clan pada terdakwa ditemukan barang bukti narkotika yang jumlahnya/beratnya relatif sedikit (sesuai SEMA No. 7 Tahun 2009 juncto SEMA No. 4 Tahun 2010) serta hasil tes urine terdakwa positif mengandung Metamphetamine, namun penuntut umum tidak mendakwakan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maka perbuatan Terdakwa tersebut dapat dikategorikan sebagai Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri sedangkan kualifikasi tindak pidananya tetap mengacu pada surat dakwaan.
(3). Rumusan Kamar Perdata, Terkait Gugatan Kurang Pihak Dalam Perkara Sengketa Tanah (SEMA 10 Tahun 2020).
- Gugatan terhadap kepemilikan tanah yang sudah bersertifikat atas nama penjual, jual beli mana dilaksanakan di hadapan PPAT, maka penggugat yang tidak menarik penjual sebagai pihak, bukan merupakan gugatan yang kurang pihak.
- Jika diajukan eksepsi mengenai gugatan kurang pihak, karena penggugat tidak menarik penjual sebagai pihak atas tanah objek jual beli yang belum bersertifikat atas nama penjual dan atau jual beli dilakukan di bawah tangan, maka eksepsi tersebut dapat diterima.
- Dalam gugatan kepemilikan tanah, penggugat yang tidak menarik pihak atau pihak-pihak yang berdasarkan hasil pemeriksaan setempat secara nyata menguasai objek sengketa sedangkan penggugat mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pihak atau pihak-pihak tersebut secara nyata menguasai objek sengketa secara permanen atau dengan alas hak, merupakan gugatan kurang pihak.
- Kriteria Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus ditarik sebagai pihak dalam hal terdapat sertifikat ganda atas sebagian atau keseluruhan dari luas tanah objek sengketa, antara lain: (1) Jika ada petitum yang meminta pengadilan menjatuhkan putusan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat, maka BPN harus ditarik sebagai pihak, atau (2) Jika dalam petitum tidak ada tuntutan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat yang diterbikan oleh BPN, maka BPN tidak perlu ditarik sebagai pihak.
(4). Rumusan Kamar Perdata Terkait Pembeli Beriktikad Baik. (SEMA 4 Tahun 2016).
Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KHUPerdata adalah sebagai berikut:
- Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan yaitu:
- Pembelian tanah melalui pelelangan umum;
- Pembelian tanah dihadapan PPAT (sesuai PP No. 24 tahun 1997);
- Pembelian terhadap tanah milik adat/ yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat yaitu dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat) serta ddidahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual.
- Pembelian dilakukan dengan harga yang layak;
- Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan antara lain:
- Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya;
- Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita;
- Tanah objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak tanggungan;
- Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.
Wajibkah Judex Facti mengikuti Yurisprudensi?
Kalau diteliti dengan seksama, sangat sedikit putusan Hakim Tingkat Pertama maupun Tingkat Banding yang mengutip Yurisprudensi MA. Padahal dalam praktek, pihak berperkara atau kuasanya paling sering mengutip Yurisprudensi sebagai rujukan untuk memperkuat pendapatnya, baik pada perkara di peradilan tingkat pertama, banding maupun kasasi atau PK pada MA.
Fenomena ini mungkin dipengaruhi sistem civil law yang diwarisi sistem hukum Indonesia, dimana Hakim cenderung berpegang pada kodifikasi undang-undang (codified-law) sebagai sumber hukum utamanya. Berbeda dengan sistem common law, dengan karakteristik orientasi pada kasus (case-law), dimana Hakim cenderung akan mengikuti putusan terdahulu baik yang sederajat tingkatnya ataupun yang hierarkis lebih tinggi, pada kasus serupa/sejenis (doctrine of precedent).
Alasan lain mengapa Yurisprudensi MA kurang digunakan pada putusan Hakim Tingkat Pertama dan Banding, sebab kemungkinan kurang berinisiatif mencari sumber referensi kasus serupa pada Yurisprudensi MA terkait substansi perkara yang ditanganinya.
Apapun alasannya, sudah selayaknya para Hakim dibawah MA secara rutin menggunakan Yurisprudensi sebagai referensi guna mendukung argumen pertimbangan hukum dalam putusannya. Saat ini terdapat banyak dan beragam kaidah hukum Yurisprudensi yang dihasilkan MA maupun pihak pemerhati hukum diluar MA. Yurisprudensi itu sudah diakses dan diketahui masyarakat khususnya pencari keadilan dengan tujuan mewujudkan kesatuan, konsistensi dan kepastian hukum pada kasus serupa.
Para Hakim di tingkat Judex Facti, sepatutnya memahami bahwa penggunaan Yurisprudensi yang berisi kaidah hukum yang sama/mirip kasus yang ditangani akan menambah bobot pertimbangan putusan. Apalagi jika kasus itu terus berproses hingga ke MA, setidaknya Hakim Kasasi/PK akan menilai penerapan hukum kasus sudah konsisten karena pernah atau mirip dengan kasus yang dipernah diputus MA. Sebab salah satu tugas MA adalah menjaga konsistensi putusan dalam memutus perkara yang serupa/sejenis. Semakin konsisten dalam memutus perkara yang sama akan menimbulkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan. Pada kasus tertentu bercorak variabel secara kasuistis, Hakim juga boleh saja tidak mengikuti Yurisprudensi, asal mempertimbangkan dasar dan argumen yang kuat dan tepat.
Dalam konteks ini, bukan hanya Yurisprudensi menjadi sumber hukum putusan tetapi Landmark Decision maupun kebijakan MA lainnya seperti Rumusan Hasil Rapat Kamar, yang diadopsi kedalam SEMA. Demi kepentingan praktek hukum terbaik dan transparan dalam menghadapi kasus konkrit, peran Yurisprudensi Tetap, Landmark Decision maupun Hasil Rumusan Rapat Kamar yang tertuang dalam SEMA, sangat membantu Hakim. Sebab itu wajib diikuti dan dipedomani sebagai suatu kebutuhan dan tuntutan profesi guna mendukung pertimbangan hukum putusan Judex Facti.
Putusan-putusan yang bersumber dari kaidah hukum Yurisprudensi Tetap atau Landmark Decision atau Hasil Rumusan Rapat Kamar, pada dasarnya membantu Hakim Judex Facti untuk merumuskan pertimbangan putusan pada kasus serupa sehingga tercipta konsistensi. Dengan begitu maka dapat ditegakkan standard hukum yang sama, dalam hal UU tidak mengatur solusi kasus yang bersangkutan. Standard hukum itu dapat menciptakan rasa kepastian hukum juga keadilan di masyarakat. Hal itu berarti bahwa terhadap kasus serupa/sejenis, maka putusan hakim akan bersifat dapat diperkirakan (predictable) dan transparansi.
Penulis, Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara
Di Tanjung Selor.
Download Dokumen : YURISPRUDENSI, SUMBER REFERENSI HAKIM JUDEX FACTI