Prosedur Penangan Perkara Perdata Pengadilan Negeri

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

PERMOHONAN KONSINYASI

Persyaratan:

  1. Surat permohonan konsinyasi;
  2. Melampirkan dokumen awal:

-       Fotokopi identitas Pemohon dan Termohon;

-       Surat Kuasa yang sudah didaftarkan di Kepaniteraan Hukum;

-       Surat tugas dari Instansi terkait;

-       Berita acara hasil musyawarah penetapan ganti kerugian;

-       Fotokopi surat penolakan Termohon atas bentuk dan/atau besar ganti kerugia berdasarkan musyawarah penetapan ganti kerugian;

-       Surat keputusan Gubernur, Bupati/Walikota tentang penetapan lokasi pembangunan;

-       Fotokopi surat dari appraisal perihal nilai ganti rugi;

-       Fotokopi bukti bahwa Termohon sebagai pihak yang berhak atas objek pengadaan tanah.

  1. Setelah ditelaah dan dipelajari oleh Panitera Muda Perdata dan Panitera selanjutnya dinyatakan dapat dihitung oleh Kasir.

 

Dasar hukum:

-       Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian Ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

-       Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang Ketentuan Tenggang Waktu Penyelesaian Permohonan Penitipan Ganti Kerugian Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian Ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.


Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Pada penyelesaian perkara perdata terdapat alternatif penyelesaian sengketa yang diharapkan mampu menghasilkan win-win solution yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa yang dimaksud dengan menggunakan pendekatan perdamaian melalui sarana mediasi. Perdamaian ini merupakan budaya bangsa Indonesia yang berasaskan musyawarah mufakat oleh karena sama-sama bertujuan mencapai kesepakatan dari pihak yang bersengketa dan dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral.

Aturan hukum mengenai lembaga perdamaian ini sebenarnya sudah diatur dalam Hukum Acara Perdata yaitu Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg, dimana Hakim yang mengadili perkara wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi. Pengaturan lebih lanjut dalam pasal tersebut dikeluarkan SEMA No. 1 tahun 2002 tentang pemberdayaan lembaga perdamaian dalam pasal 130 HIR/154 Rbg. Kemudian disusul dengan lahirnya PERMA No.2 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan yang diubah dengan PERMA No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan dan dilakukan perubahan yang terakhir yaitu PERMAI No. 1 tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan.

Menariknya, dalam peraturan tersebut juga mengatur tentang adanya perdamaian di luar Pengadilan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa, hal tersebut tertuang dalam pasal 36 PERMA No. 1 tahun 2016. Perdamaian diluar pengadilan ini sebagai sarana para pihak untuk menyelesaikan sengketanya diluar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian, kemudian kesepakatan perdamaian tersebut dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang untuk memperoleh Akta Perdamaian dengan cara mengajukan gugatan. Dengan muncul payung hukum yang jelas tersebut diharapkan kepada masyarakat untuk melaksanakan upaya jalur perdamaian di luar pengadilan dengan tujuan agar permasalahan sengketa yang dihadapi mendapatkan win-win solution yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, kemudian penyelesaiannya pun lebih efektif dan efisien dan mempunyai kepastian hukum serta kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak dalam menentukan perdamaiannya sendiri.

 

Persyaratan gugatan perdamaian di luar Pengadilan yaitu:

  1. Surat Gugatan memperoleh Akta Perdamaian;
  2. Surat Kuasa (bagi yang menggunakan kuasa);
  3. CD Gugatan (Soft Copy Gugatan);
  4. Kesepakatan Perdamaian asli dan Fotocopy Kesepakatan Perdamaian (nazegelen di kantor pos);
  5. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk/KTP para pihak (nazegelen di kantor pos);
  6. Fotocopy dokumen/bukti yang menunjukan hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa (nazegelen di kantor pos);
  7. Biaya panjar;

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Dasar Hukum & Definisi

PS diatur dalam HIR, RBG dan Rv di mana ketiganya mengatur hal-hal yang tidak jauh berbeda. Pasal 153 HIR (180 Rbg / 211 Rv), mengatur bahwa “Jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka Ketua boleh mengangkat satu atau dua orang Komisaris dari pada dewan itu, yang dengan bantuan panitera Pengadilan Negeri akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim”.

Jika melihat ketentuan tersebut maka sederhanya PS adalah pemeriksaan yang dilakukan ditempat objek perkara. Menurut Prof.Subekti, PS tidaklah lain daripada pemindahan tempat sidang hakim ke tempat yang dituju itu, sehingga apa yang dilihat oleh hakim sendiri di tempat tersebut dapat dianggap sebagai dilihat oleh hakim di muka persidangan.

Pendapat yang sama juga di-aminkan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran No. 5 Tahun 1999 tentang Biaya Administrasi (SEMA 5/1999), menyebutkan PS sifatnya sama dengan persidangan yang dilakukan di kantor pengadilan. Tidak salah jika PS disebut sebagai metode pemeriksaan dengan cara memindahkan sidang dari gedung pengadilan ke tempat obyek perkara, dengan alasan logis tidak mungkin obyek tersebut dibawa ke dalam gedung pengadilan. Kemudian mengacu kepada pendapat Riduan Syahrani bahwa PS adalah pemeriksaan mengenai fakta-fakta atau keadaan di tempat objek perkara berada. Dari pengertian tersebut yang dapat kita ketahui lagi bahwa PS dilaksanakan untuk mencari fakta atau dilaksanakan pada sidang pembuktian (pemeriksaan alat bukti). Sehingga hemat Penulis, PS adalah metode pemeriksaan alat bukti yang dilakukan lansung di tempat obyek perkara berada.   

Tata Cara

PS diatur dalam Pasal 153 HIR, Pasal 180 Rbg, Pasal 211 - 214 Rv, ketentuan-ketentuan tersebut tidak menjelaskan secara rinci bagaimana pelaksanaan PS di lapangan. Hal ini menyebabkan pelaksanaan PS menjadi mengikuti kebiasaan para hakim di pengadilan, yang bisa berbeda-beda satu sama lain. Mengambil contoh di salah satu pengadilan PS dilaksanakan dengan cara datang ke lokasi kemudian menanyakan kepada para pihak (Penggugat dan Tergugat) tekait obyek perkara. Sedangkan di tempat lain juga dilakukan dengan cara melihat alat bukti surat kemudian mencocokan dengan kondisi lapangan

Pada akhirnya tata cara ini akan berdampak pada validasi fakta yang ditemukan pada PS, coba saja kita bayangkan jika PS hanya dilaksanakan dengan meminta keterangan dari para pihak (bukan alat bukti), sudah pasti mereka akan menyebutkan sesuai dengan yang mereka tulis dalam gugatan atau jawaban. Tingkat validasi atau kebenaran fakta tersebut menjadi sangat rentan manipulasi.

Sehingga perlu dijelaskan tata cara PS berdasarkan Pasal 153 HIR, Pasal 180 Rbg, Pasal 211 - 214 Rv, SEMA 7/2001, SEMA 5/1999 kemudian disesuaikan dengan kaidah pemeriksaan alat bukti dalam acara perdata sebagai berikut:

No.

Tahap

Keterangan

1.

Dilakukan atas permintaan salah satu pihak atau oleh hakim karena jabatannya

Pasal 153 HIR, 180 Rbg, 211 Rv

2.

hakim menetapkan ongkos jalan yang ditanggung oleh pihak yang memohon PS. Jika dimintakan oleh hakim, maka ongkos PS dibebankan pada pihak yang paling berkepentingan (Penggugat). Ongkos dibayar terlebih dahulu sebelum PS dilaksanakan

Pasal 214 Rv, Angka 2 SEMA 7/2001, SEMA 5/1999;

SEMA 5/1999, tidak dibenarkan adanya pembebanan biaya yang bersifat honor/uang makan bagi Majelis/Hakim/Panitera Pengganti, kecuali untuk transportasi dari Kantor Pengadilan ke tempat persidangan pulang pergi;

Instruksi Dirjen Badimul No. 3207/DJU/SK/PS.01/10.2019, biaya pemeriksaan setempat terdiri dari biaya pemberitahuan 2x, transportasi dan PNBP.

3.

perintah melaksanakan PS dituangkan dalam putusan sela atau berita acara. Berisi penunjukan hal-hal perlu dipersiapkan termasuk alat bukti dan ongkos.

Pasal 153 HIR, 180 Rbg, 211 Rv

4.

Setelah ongkos dibayarkan kemudian dilakukan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan antara lain kantor pemerintahan setempat (lurah/desa), kantor badan pertanahan dan pihak keamanan;

SEMA 7/2001, SK Dirjen Badilum 40/DJU/SK/HM.02.3./1/2019

5.

Pada hari yang ditentukan, hakim bersama para pihak serta pihak lain yang dipanggil melaksanakan sidang di lokasi benda yang akan diperiksa;

Pasal 153 HIR, 180 Rbg, 211 Rv

6.

Hakim dapat membuka sidang secara resmi baik di ruang sidang terlebih dahulu atau langsung pada lokasi PS;

Pasal 253 HIR (setiap sidang harus dinyatakan dibuka terlebih dahulu oleh Hakim)

7.

Para pihak diberi hak untuk mengajukan alat bukti yang memperkuat dalilnya selama PS;

Pemeriksaan alat bukti yang diajukan selama PS, disesuaikan dengan hukum acara pemeriksaan alat bukti pada persidangan di ruang sidang pengadilan. Untuk surat dicocokan aslinya sedangkan untuk saksi atau ahli dilakukan penyumpahan, kemudian dilakukan tanya jawab;

Angka 3 SEMA 7/2001 menyebutkan selama PS wajib memperhatikan Pasal 150 HIR;

Pasal 150 HIR mengatur mengenai tanya jawab saksi harus melalui hakim ketua.

8.

Dapat dilakukan pengukuran objek yang dilakukan oleh BPN, dengan biaya yang disepakati oleh kedua belah pihak

Angka 2 SEMA 7/2001

9.

Panitera Pengganti menuangkan hasil PS dalam berita acara

Pasal 153 HIR, 180 Rbg, 212 Rv

Dari yang Penulis amati di lapangan, banyak sekali pelaksanaan PS yang tidak menghadirkan alat bukti, terutama saksi dan ahli. Mungkin dikarenakan sulitnya memanggil saksi atau mungkin untuk mempercepat proses PS itu sendiri. Sebagai pengganti terkadang hanya para pihak yang dimintai keterangannya, bahkan tidak jarang kuasa hukum para pihak. Padahal Mahkamah Agung telah menegaskan dalam SEMA 5/1999 bahwa PS sifatnya sama seperti sidang di kantor pengadilan, yang artinya tidak mengesampingkan asas atau kaidah pembuktian yang mana kita ketahui keterangan para pihak atau kuasa hukumnya tidak termasuk alat bukti yang sah.

Sebagai perbandingan, tata cara PS yang melibatkan saksi sebenarnya sudah diadopsi oleh salah satu peraturan di kementerian/lembaga, dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia No. 34 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Setempat Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara Di Lingkungan Kementrian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (Permenhan 34/2016), yang menyebutkan bahwa “Pihak Kemhan sebelum pelaksanaan PS wajib menyiapkan saksi yang dapat memberikan keterangan tentang Lokasi, Luas dan Batas dan/atau bangunan terkiat Obyek Perkara pada saat PS”. Walaupun Permenhan 34/2016 hanya berlaku di lingkungan Kemenhan, namun menurut Penulis kaidah yang diatur dalam peraturan tersebut telah telah tepat menerapkan kaidah hukum acara perdata, khususnya dalam tata cara pelaksanaan PS.

Kekuatan Pembuktian

Kemudian yang tidak kalah penting mengenai hasil PS apakah dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim? jawabannya tentu saja dapat. Dalam beberapa yurisprudensi yakni Putusan MA No. 1497 K/sip/1983, MA 3197 K/ Sip/1983, Putusan MA 1777 K/Sip/1983 hasil PS dapat menjadi patokan hakim dalam menentukan luas, letak dan batas objek perkara. Namun pertanyaannya, hasil PS seperti apa yang dapat digunakan untuk itu? Apakah hasil PS yang dilaksanakan dengan cara menanyai para pihak atau kuasanya dapat menjadi patokan?

Hal ini menurut Penulis harus dikembalikan kepada asas pembuktian dalam hukum acara perdata, yakni asas pembuktian postif yang mencari kebenaran formiil. Pada intinya kebenaran formiil mencari kebenaran yang diperoleh dari alat bukti yang sah (berbeda dengan kebenaran materiil dalam acara pidana diperoleh dari alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim). Lantas apa saja alat bukti yang sah dalam hukum acara perdata ? Mari kita lihat tabel berikut (berdasarkan buku Yahya Harahap Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Bandung:2010, halaman 545 s.d 554):

Hal disebutkan dalam tabel di atas adalah alat bukti yang sah dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW. Terhadap mereka sudah diatur juga masing-masing kekuatan pembuktiannya. Hemat penulis sebuah alat bukti yang sah akan memiliki kekuatan pembuktian, dimana karena kekuatan pembuktian tersebut hakim terikat untuk mempertimbangkan atau tidak sebuah alat bukti. Selama PS dilaksanakan dengan cara melibatkan alat bukti yang sah, maka fakta atau keterangan yang diperoleh akan memiliki kekuatan pembuktian. Oleh karena itu fakta atau keterangan PS tersebut menjadi alat bukti yang sah dan valid untuk digunakan dalam pertimbangan putusan.

Ada pemahaman yang berkembang mengenai PS sebagai salah satu alat bukti. Hal ini berbeda dengan yang dimaksud oleh penulis di atas, dimana yang penulis maksud adalah keterangan atau fakta yang diperoleh dari PS lah yang menjadi alat bukti, bukan kegiatan PS itu sendiri. Pandangan tersebut sebenarnya sudah dibantah baik berdasarkan SEMA 5/1999 maupun oleh ahli yakni Yahya Harahap yang menyatakan PS bukan alat bukti dan tidak memiliki kekuatan pembuktian, PS adalah metode pemeriksaan.


Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN DAN KETENTUANNYA
1. Permohonan diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal pemohon.
2. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat permohonanannya tersebut. (Pasal 120 HIR, Pasal 144 RBg).
3. Permohonan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri, kemudian didaftarkan dalam buku register dan diberi nomor unit setelah pemohon membayar persekot biaya perkara yang besarnya sudah ditentukan oleh Pengadilan Negeri (Pasal 121 HIR, Pasal 145 RBg).
4. Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair dan terhadap perkara permohonan yang diajukan itu, Hakim akan memberikan suatu penetapan.
5. Untuk permohonan pengangkatan anak oleh seorang WNA terhadap anak WNI atau oleh seorang WNI terhadap anak WNA (Pengangkatan Anak Antar Negara / Inter Country Adoption) harus dijatuhkan dalam bentuk putusan (SEMA No.2 Tahun 1979 jo SEMA No.6 Tahun 1983)
6. Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
7. Walaupun dalam redaksi undang-undang disebutkan bahwa pemeriksaan yang akan dilakukan oleh pengadilan atas permohonan dari pihak yang berkepentingan antara lain sebagaimana tersebut dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 110 dan 117 Undang¬-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas jo Pasal 138 dan 146 Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, namun hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai perkara voluntair yang diperiksa secara ex parte, karena di dalamnya terdapat kepentingan orang lain sehingga perkara tersebut harus diselesaikan dengan cara contentiusa, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan harus ditarik sebagai Termohon, sehingga asas audi et alteram partem terpenuhi.
8. Produk dari permohonan tersebut adalah penetapan yang dapat diajukan kasasi.
9. Permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Pengadilan Negeri, yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal anak yang hendak diangkat (SEMA No. 2 Tahun 1979 jo SEMA No. 6 Tahun 1983 jo SEMA No. 4 Tahun 1989).
10. Permohonan anak angkat yang diajukan oleh Pemohon yang beragama Islam dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut sebagai anak kandung dan dapat mewaris, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri, sedangkan apabila dimaksudkan untuk dipelihara, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama.
11.
Untuk permohonan pengangkatan anak oleh seorang WNA terhadap anak WNI atau oleh seorang WNI terhadap anak WNA (Pengangkatan Anak Antar Negara Inter Country Adoption) hanya dapat dilakukan dalam daerah Pengadilan Negeri dimana Yayasan yang ditunjuk Departemen. Sosial RI untuk dapat dilakukannya Inter Country Adoption berada; yang saat ini ada 6, yaitu :
1. DKI Jakarta – Yayasan Sayap Ibu – Yayasan Bhakti Nusantara "Tiara Putra"
2. Jawa Barat – Yayasan Pemeliharaan Anak di Bandung.
3. DI Yogyakarta – Yayasan Sayap Ibu.
4. Jawa Tengah – Yayasan Pemeliharaan Anak dan Bayi di Solo.
5. Jawa Timur – Panti Matahari Terbit di Surabaya.
6. Kalimantan Barat – Yayasan Kesejahteraan Ibu dan Anak Pontianak.
12. Inter Country Adoption dilakukan sebagai upaya terakhir (Ultimatum Remedium), dan pelaksanaannya harus memperhatikan SEMA No. 6 Tahun 1983 jo SEMA No. 4 Tahun 1989 jo UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 41.
13.

Perlu diperhatikan adanya Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.02.PW.09.01-1981 tentang Pemberian Paspor dan Exit Permit kepada anak warga negara Indonesia yang diangkat anak oleh warga negara asing, tanggal 3 Agustus 1981, khususnya butir 1 yang berbunyi:

Melarang memberikan paspor dan exit permit kepada anak-anak Warga Negara Indonesia yang diangkat anak oleh Warga Negara Asing apabila pengangkatan anak tersebut tidak dilakukan oleh Putusan Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal / tempat kediaman anak tersebut di Indonesia."
JENIS – JENIS PERMOHONAN YANG DAPAT DIAJUKAN MELALUI PENGADILAN NEGERI adalah sebagai berikut :
1. Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa adalah 18 tahun (menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 47; menurut Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1; menurut Undang-undang No 23 Tahun 2002 Pasal 1 butir ke 1).
2. Permohonan pengangkatan pengampuan bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun.
3. Permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974).
4. Permohonan izin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun (Pasal 6 ayat (5) Undang¬-undang No.1 Tahun 1974).
5. Permohonan pembatalan perkawinan (Pasal 25, 26 dan 27 Undang-undang No.1 Tahun 1974).
6. Permohonan pengangkatan anak (harus diperhatikan SEMA No. 6/1983).
7. Permohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil, misalnya apabila nama anak secara salah disebutkan dalam akta tersebut (Penduduk Jawa dan Madura Ordonantie Pasal 49 dan 50, Peraturan Catatan Sipil keturunan Cina Ordonantie 20 Maret 1917-130 jo 1929-81 Pasal 95 dan 96, Untuk golongan Eropa KUH Perdata Pasal 13 dan 14), permohonan akta kelahiran, akta kematian.
8. Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit (Pasal 13 dan 14 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
9. Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan tidak hadir (Pasal 463 BW) atau dinyatakan meninggal dunia (Pasal 457 BW).
10. Permohonan agar ditetapkan sebagai wakil/ kuasa untuk menjual harta warisan. 
PERMOHONAN YANG DILARANG
1. Permohonan untuk menetapkan status kepemilikan atas suatu benda, baik benda bergerak ataupun tidak bergerak. Status kepemilikan suatu benda diajukan dalam bentuk gugatan.
2. Permohonan untuk menetapkan status keahliwarisan seseorang. Status keahlian warisan ditentukan dalam suatu gugatan.
3. Permohonan untuk menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah. Menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah harus dalam bentuk gugatan.
Untuk mengalihkan status kepemilikan benda tetap, seperti menghibahkan, mewakafkan, menjual, membalik nama sebidang tanah dan rumah, yang semula tercatat atas nama almarhum atau almarhumah, cukup dilakukan :
1. Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris Adat, dengan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan sendiri, yang disaksikan oleh Lurah dan diketahui Camat dan desa dan kecamatan tempat tinggal almarhum.
2. Bagi mereka yang berlaku Hukum waris lain-lainnya, misalnya Warga Negara Indonesia keturunan Hindia, dengan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (perhatikan Surat Edaran Menteri, Direktur Jenderal Agraria, Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah ub. Kepala Pembinaan Hukum, R.Soepandi tertanggal 20 Desember 1969, No. Dpt/112/63/12/69, yang terdapat dalam buku tuntunan bagi Pejabat Pembuat Akte Tanah, Departemen Dalam Negeri, Ditjen Agraria, halaman 85).
AKTE DI BAWAH TANGAN MENGENAI WARISAN
1. Akta ini dibuat oleh ahli waris almarhum, yang berupa suatu surat pemyataan bahwa dia mereka adalah ahli waris, dengan menyebutkan kedudukan masing- masing dalam hubungan keluarga yang telah meninggal. Pernyataan yang dibuat tersebut dapat dimintakan untuk disahkan tanda tangannya oleh Ketua Pengadilan Negeri.
2. Setelah membacakan dan menjelaskan surat pernyataan tersebut dihadapan para pihak, Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim yang ditunjuk mengesahkan tanda tangan mereka berdasarkan ketentuan Pasal 2 (1) Stbld. 1916-46 dengan cara, dibawah pernyataan tersebut dibubuhi kalimat: Yang bertanda tangan dibawah ini, Ketua/Hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara, menerangkan, bahwa bernama ______________………….. telah saya kenal atau telah diperkenalkan kepada saya, dan kepadanya/mereka telah saya jelaskan isi pernyataan dalam akta tersebut di atas, dan setelah itu ia/mereka membubuhkan tandatangannya dihadapan saya. Surat keterangan ahli waris tersebut hanya berlaku untuk suatu keperluan tertentu, karena itu dibawahnya dicantumkan dengan huruf-huruf besar sebagai berikut (sebagai contoh) : Catatan : "Akta dibawah tangan yang telah disahkan ini khusus berlaku untuk mengambil uang deposito di bank _____________ atas nama _____________". Dan kemudian dibubuhi cap Pengadilan Negeri sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Stbld.1916-46, akta tersebut dicatat dalam Buku Register yang khusus disediakan untuk itu.

2025 @ Template PT Kalimantan Utara

Please publish modules in offcanvas position.